Jumat, 20 Mei 2011

Kekuatan “Batata” untuk Provinsi Buton Raya

Provinsi Buton Raya didorong untuk mengembalikan peradaban Kesultanan Buton. Syarat administrasi pembentukannya sudah selesai, kini giliran masyarakat menggerakkan kekuatan doa untuk mewujudkan daerah otonom baru tersebut.



Laporan: M Djufri Rachim, Baubau



Sabtu (15/11) siang sinar matahari di Desa Burangasi Rumbia, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton cukup panas. Suhu udara sekitar 32 derajat celcius. Namun tidak menyurutkan semangat ratusan masyarakat desa setempat berbondong-bondong menuju lapangan terbuka guna mengikuti acara Batata Burangasi yang dirangkai dengan acara zikir dan doa bersama menuju pembentukan Provinsi Buton Raya.

“Batata” merupakan tradisi masyarakat Buton untuk memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Khusus di daerah ini disebut “Batata Burangasi” dimana acara ritual dilakukan oleh tujuh orang “parabela” (orang tua adat) berpakaian khas kesultanan Buton. Bacaan-bacaan ritual disampaikan dalam bahasa lokal (Cia-cia).

Menurut pimpinan ritual, Parabela La Uo, “Batata” mempunyai tiga maksud, yakni: Pertama, mendoakan agar semua orang di muka bumi ini dapat berbuat baik, sportif dan jujur. Kedua, mengandung sumpah, sehingga bagi yang melanggar akan mendapatkan ganjaran, misalnya tertimpa musibah. Ketiga, mememohonkan agar semua manusia mendapatkan rejeki dan kedamaian hidup yang baik.

Selain tiga maksud tersebut, pada acara “Batata” hari itu secara spesifik memohonkan pula percepatan pembentukan Provinsi Buton Raya dan dua kabupaten penunjangnya, yakni Kabupaten Buton Selatan dan Buton Tengah. Selain “Batata”, untuk maksud yang sama, masyarakat juga melakukan zikir dan doa bersama.

Acara tersebut dihadiri tokoh masyarakat Buton Papua Barat, La Masikamba. Pada beberapa kali pertemuan pembentukan provinsi Buton Raya, La Masikamba senantiasa aktif. Sebelumnya, ia juga terlihat pada pertemuan akbar kepala daerah di wilayah Buton Raya yang berlangsung di Kantor Walikota Bau-Bau Palagimata, awal Mei lalu. Pertemuan tersebut dihadiri Walikota Baubau MZ. Amirul Tamim, Bupati Buton LM Sjafei Kahar, Bupati Wakatobi Hugua, dan Bupati Buton Utara (Butur) yang diwakili Sekretaris Daerah La Ode Hasirun. telah sepakat untuk membentuk sebuah provinsi yang dinamakan Buton Raya.

Menurut La Masikamba persyaratan administrasi pembentukan Provinsi Buton Raya telah terpenuhi, kini waktunya seluruh masyarakat menyeruhkan doa melalui masjid, musholah, surau, dan langgar. Doa massal dimulai dari Desa Burangasi Rumbia akan disusul tempat-tempat lain di seluruh wilayah Buton Raya (Kabupaten Buton, Wakatobi, Buton Utara, Kota Baubau) dan oleh masyarakat Buton yang ada di rantau.

Desa Burangasi dipilih sebagai tempat demo spiritual pertama untuk mewujudkan Provinsi Buton Raya karena masyarakat setempat meyakini daerah tersebut sebagai tempat pertama kali Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani menginjakkan kaki di tanah Buton untuk menyebarkan agama Islam. “Setelah 40 hari berada di Burangasi, Syeikh Abdul Wahid dipanggil oleh Sultan Buton. Di situlah dimulainya menyebaran agama Islam melalui kesultanan,” kata M Yasin Welson, salah seorang tokoh agama di Burangasi kepada Kendari Pos.

Menurut Yasin, Syeikh Abdul Wahid pertama kali mendarat di Rampea, pesisir Burangasi, kemudian tinggal di Bente (Benteng, Red) Duria dan melakukan salat di atas Batupuaro. Benteng dan Batupuaro tersebut hingga kini masih ada. Sedangkan sisa peninggalan Syeikh yang lain berupa ajaran “Kawalimboba” yakni ajaran agama Islam berupa penghayatan Alquran yang disebarkan secara lisan ---dari mulut ke mulut.

Seruan untuk memanjatkan doa untuk percepatan terbentuknya provinsi Buton Raya juga disampaikan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Yaudu Salam Ajo. “Kekuatan doa tidak bisa dikalahkan oleh kekuatan apa pun.” Karena itu, ia juga berharap agar istiqosah dapat dilakukan di daerah lain seperti Wakatobi, dan lain-lain, termasuk di perantauan orang-orang Buton.

Masyarakat Buton memang sejak lama banyak yang merantau. Hampir seluruh pelosok nusantara ada orang Buton, namun kebanyakan mereka berada di wilayah Timur Indonesia, seperti Maluku dan Irian. Mereka bekerja di sektor swasta, tentu ada pula yang PNS dan TNI/Polri. Ketika merantau mereka menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Masyarakat Buton perantau pun menyambut baik pembentukan Provinsi Buton Raya. Masyarakat Buton dan Muna di Sorong, Papua Barat, yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Sulawesi Tenggara belum lama ini mengadakan seminar nasional yang mengusung tema "Pemikiran Perantau Asal Buton dan Muna untuk Mewujudkan Provinsi Buton Raya.”

Ketua Panitia Pelaksana, Nasir La Apa, menjelaskan seminar nasional tersebut dilatarbelakangi adanya wacana dan aspirasi yang berkembang di masyarakat, tentang keinginan bagi pemekaran Provinsi Sultra menjadi dua provinsi yakni Provinsi Buton Raya dan provinsi induk itu sendiri.

Seminar tersebut bertujuan untuk mengumpulkan respon dan aspirasi masyarakat di tanah Papua dan Maluku terhadap pembentukan Provinsi Buton Raya, serta merumuskan hasil seminar dan rekomendasinya menjadi dokumen yang merangkum wujud aspirasi dan tanggapan masyarakat Buton dan Muna perantauan untuk kemudian diserahkan pada pihak yang berkompoten seperti, DPR RI, DPD-RI, DPRD Sultra dan DPRD kabupaten/kota, serta pemerintah pusat dan daerah.

Alhasil, semua pihak kini telah setuju soal pembentukan Provinsi Buton Raya. Puluhan anggota DPR dan DPD di Jakarta telah menyatakan dukungannya. "Yang mendukung pembentukan provinsi Buton Raya itu bukan hanya dari kami sebagai anggota DPR-RI maupun DPD-RI, tetapi ada beberapa anggota DPR-RI asal Sultra yang berada di provinsi lain seperti dari Maluku Utara, Ambon, dan Papua juga ikut mendukung," kata anggota DPR RI Laode Djeni Hasmar.

Sebetulnya, menurut Djeni Hasmar, keinginan masyarakat di kepulauan untuk membentuk satu provinsi baru sudah lama diwacanakan, yakni sejak Gubernur Sultra yang keenam, Drs H La Ode Kaimoeddin. Pada waktu itu, wacana pembentukan Provinsi Buton Raya ditangani oleh Tim Sembilan yang di dalamnya terdapat beberapa tokoh seperti Prof Dr La Ode Abdul Rauf, MSc (Muna), Drs H Husni Zakaria (Buton Utara) dan beberapa tokoh agama dan pemuda lainnya di kabupaten Bombana dan Wakatobi. Hanya saja, wacana pembentukan provinsi Buton Raya pada waktu itu tidak berjalan efektif karena persoalan jumlah kabupaten yang belum mencukupi persyaratan. Namun kini masalah itu hampir teratasi dengan penggagasan dua kabupaten baru, sebagai pemekaran kabupaten Buton.

Komponen pendukung di daerah pun demikian sepakat. DPRD Sultra melalui rapat paripurna tanggal 6 Agustus 2008 telah menyetujui pemekaran Buton Raya menjadi suatu daerah otonom baru, terpisah dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Kadir Ole dan dihadiri Gubernur Sultra Nur Alam telah membuat keputusan bersama yang dibacakan oleh anggota DPRD Sultra asal Wakatobi, Ryha Madi. Keputusan DPRD Nomor 06 tahun 2008 tersebut menjadikan cakupan enam kabupaten dan kota untuk Provinsi Buton Raya, yaitu: Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau, Wakatobi , Buton Utara , calon Kabupaten Tengah dan Calon Kabupaten Buton Selatan dan menetapkan pula Kota Bau-Bau sebagai calon tunggal ibu kota Provinsi Buton Raya.

Gubernur Sultra Nur Alam saat memberikan sambutan dalam rapat paripurna DPRD tersebut mengatakan wilayah Buton Raya yang terdiri dari kepulauan sangat layak untuk menjadi provinsi baru. Selain memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama potensi sumber daya kelautan, wilayah itu juga didukung sarana dan prasarana dasar yang cukup memadai. “Dilihat dari potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki, wilayah Buton Raya sangat layak menjadi provinsi baru. Selain untuk mengoptimalkan pemanfaatan berbagai potensi yang dimiliki, pemekaran itu juga untuk mendekatkan rentang kendali pelayanan pemerintahan kepada masyarakat. Karena itu, saya menyetujui pembentukan provinsi baru ini,” ujar Nur Alam.

Karena semua perangkat pemerintah telah mendukung pembentukan Provinsi Buton Raya maka masyarakatnya kini berjuang dalam bentuk doa. Mereka sangat berharap agar provinsi ini terbentuk dalam waktu cepat. Apalagi kontek pemekaran tersebut dianggap seiring dengan sejarah yang panjang dan menjadi bagian dari sejarah nusantara dengan dijadikannya Baubau sebagai pusat kesultanan Buton di masa lalu.

Ketua DPRD Kabupaten Buton, Umar Samiun, dalam acara Batata Burangasi yang dirangkai dengan acara zikir dan doa bersama itu mengurai panjang lebar sejarah kesultanan Buton, mulai dari awal terbentuknya hingga dipolitisirnya pemindahan ibukota provinsi Sultra, dari Baubau ke Kendari, ketika pertama pisah dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara. “Karena itu pembentukan Provinsi Buton Raya berarti mengembalikan peradaban/kejayaan Kesultanan Buton,” kata Umar.



Kesultanan Buton sebagai Sumber Inspirasi dan Referensi

Buton memiliki sejarah yang bisa memberikan historis akan sebuah wilayah geografis yang pernah terintegrasikan dalam bentuk kesultanan. Kini para elite politik dan tokoh masyarakat setempat mendorong kembalinya kejayaan peradaban itu dalam wujud provinsi Buton Raya.

Bergulirnya keinginan membentuk sebuah daerah otonom (belakangan disepakati bernama Provinsi Buton Raya) sudah sejak lama, namun baru muncul dipermukaan bersamaan dengan euforia reformasi pasca lengsernya presiden Soeharto (1998).

Menurut anggota DPR RI Laode Djeni Hasmar keinginan masyarakat di kepulauan untuk membentuk satu provinsi baru diwacanakan sejak Gubernur Sultra yang keenam, Drs H La Ode Kaimoeddin, namun pembentukan provinsi Buton Raya pada waktu itu tidak berjalan efektif karena persoalan jumlah kabupaten yang belum mencukupi persyaratan.

Aturan pemekaran sebuah provinsi baru mensyaratkan minimal terdapat lima kabupaten/kota yang ada di dalamnya. Kabupaten Buton sendiri sudah memecah diri membentuk dua kabupaten baru, yakni Wakatobi dan Bombana, shingga bila dihitung-hitung sudah mencukupi untuk membentuk provinsi di wilayah kepulauan Sultra, yakni Kabupaten Buton, Wakatobi, Bombana, Buton Utara, Muna, dan Kota Baubau.

Sebelum pemekaran, Buton merupakan kabupaten yang wilayahnya meliputi sebagian Pulau Buton, sebagian Pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi), Pulau Kabaena, dan sebagian jazirah Sulawesi Tenggara. Pada saat itu ibukota kabupaten berada di Baubau yang berstatus Kota Administratif (Kotif). Pada tahun 2001, Baubau mekar dan meningkat statusnya menjadi kota. Pada tahun 2003 Wakatobi dan Bombana berdiri sebagai kabupaten sendiri. Meskipun Buton mengalami penyempitan wilayah, sejak tahun 2003 terjadi pemekaran kecamatan secara drastis sehingga saat ini kembali memiliki 21 kecamatan, sebagaimana jumlah kecamatan sebelum adanya pemekaran.

Belakangan, Kabupaten Bombana diketahui enggan bergabung ke Buton Raya. Demikian pula dengan Kabupaten Muna. Pada pertemuan seluruh kepala daerah wilayah kepulauan di Baubau pada bulan Mei 2008, Kabupaten Muna mengirimkan utusannya, yakni asisten satu, La Muda Ronga, namun menyatakan masih ragu-ragu untuk bergabung dengan Provinsi Buton Raya karena harus ada pembicaraan terlebih dahulu diantara kepala daerah.

Sedangkan Kabupaten Bombana melalui DPRD-nya memutuskan untuk tidak bergabung dengan Provinsi Buton Raya. Namun demikian, melalui Sekda Bombana Idrus Effendi Kube dalam acara “Dialog Strategis Pembangunan Daerah Melalui Pembentukan Daaerah Otonom Baru,” di Baubau, 14 September 2008 mengatakan pihaknya hanya bisa memberikan dukungan moral. Hal itu, katanya, bisa dilihat dengan hadirnya 10 anggota DPRD Bombana di acara dialog itu. Effendi sama sekali tidak menyinggung apakah kehadirannya bersama anggota DPRD itu, akan menyatakan bergabung dengan Buton Raya, walaupun dia mengakui bahwa dampak positif setelah daerahnya mekar dari Buton empat tahun silam.

Niat elite politik dan tokoh masyarakat di wilayah Buton Raya tidak urung dengan sikap dua kabupaten tersebut (Bombana dan Muna). Tidak ada lagi yang bisa menghalangi Buton Raya menjadi sebuah provinsi dan Kota Baubau sebagai ibukotanya. "Selaku Walikota Baubau saya mohon doa restu semua elemen masyarakat demi terwujudnya Provinsi Buton Raya," kata Wali Kota Baubau, MZ Amirul Tamim pada pertemuan kepala daerah wilayah kepulauan.

Hal senada diungkapkan Bupati Buton LM Sjafei Kahar bahwa sekarang ini sudah saatnya Provinsi Buton Raya mekar sebab menyangkut pendekatan pelayanan pemerintahan dan konsentrasi pembangunan. Pasalnya, selama ini dari segi pembangunan antara daratan dan kepulauan terjadi perbedaan. Dicontohkan mengenai persoalan jalan hotmix antara Baubau dan Pasarwajo selama Sultra berdiri tidak pernah dihotmix. Bila dibandingkan dengan daratan semua sudah diaspal hotmix. Demikian pula dengan kondisi jalan antara Buton dan Muna.

Pemerintah Kabupaten Buton pun segera mendorong pemekaran dua kabupaten baru yang sesungguhnya sudah lama direncanakan, yakni Kabupaten Buton Tengah dan Buton Selatan. Menurut anggota DPRD Sultra, Yaudu Salam Ajo, pemekaran Kabupaten Buton Tengah dan Selatan bukan tanpa alasan. Pemekaran ini sudah lama menjadi keinginan masyarakat setempat. "Aspirasi masyarakat, khususnya di dua daerah yang akan dimekarkan telah cukup lama dinantikan. Sudah sejak tiga tahun lalu,” katanya.

Potensi sumber daya alam di dua daerah tersebut cukup besar, utamanya pada sektor perikanan dan pertambangan. Sehingga jika dikembangkan, maka dua sektor sumber daya alam ini dapat memberikan kontribusi riil bagi kemajuan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Buton Tengah dan Selatan.

Dengan demikian masalah jumlah kabupaten/kota pendukung provinsi Buton Raya hampir teratasi. Kabupaten/kota yang sudah bulat untuk bergabung adalah Buton, Wakatobi, Baubau, Buton Utara, Buton Tengah, dan Buton Selatan. Menurut Ketua DPRD Buton, Umar Samiun, pemekaran dua kabupaten yang disebutkan terakhir tersebut segera terealisasi, yang kemudian disusul pembentukan Provinsi Buton Raya.

Umar Samiun dalam acara Batata Burangasi yang dirangkai dengan acara zikir dan doa bersama di Desa Burangasi Rumbia, Kecamatan Lapandewa, Sabtu (15/11), Buton dipolitisir ketika terjadi pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara yang pisah dari Provinsi Sulselra. Ibukota Provinsi Sultra yang seharusnya terletak di Kota Baubau, justru dipindahkan ke Kendari (ibukota sekarang).

Menurut Umar, hal itu dilakukan untuk menghambat kemajuan Buton, sebab jika ibukota provinsi di Baubau maka daerah ini akan menjadi pusat pertumbuhan kawasan Timur Indonesia, mengingat transportasi utama saat itu adalah melalui hubungan laut. Semua kapal yang melayari kawasan Timur dan Barat Indonesia akan melalui pelabuhan Baubau yang sudah lebih dahulu maju. Bahkan, kompeni (Belanda) pun menjadikan pelabuhan Baubau sebagai tempat strategi dalam berdagang rempa-rempa.

Baubau selain sebagai pusat perdagangan juga merupakan pusat sejarah dan kebudayaan. Kota Baubau merupakan pusat dari Kesultanan Buton yang mewakili wilayah kekuasaan yang meliputi Pulau Buton, Pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi), dan sebagian daratan jazirah Sulawesi (Bombana).

Karena itu, menurut peniliti senior LIPI, Dr Riwanto Tirtosudarmo, dalam buku Menyibak Kabut di Keraton Buton (2008), bagi para pemimpin dan tokoh masyarakat Buton mengembalikan kejayaan dan kewilayahan Kesultanan Buton merupakan impian lama yang merupakan ingatan kolektif yang sangat kuat dan dipelihara hingga saat ini.

Menurutnya, bekas wilayah Kesultanan Buton di masa lalu menjadi inspirasi dan referensi bagi para tokoh dan pemimpin masyarakat Buton untuk merealisasikan pembentukan Provinsi Buton Raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar