Jumat, 20 Mei 2011

Peninggalan dan Pengaruh Kesultanan Buton

Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Peninggalan Kerajaan Buton di masa lalu antara lain benteng keraton yang berlokasi di Wolio itu. Benteng keraton tersebut berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab. Konon, huruf dhal diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad. Panjang keliling Benteng Keraton Buton adalah tiga kilometer dengan tinggi rata-rata empat meter dan tebal dua meter. Sedangkan luas seluruh lokasi benteng meliputi 40.911 meter persegi. Benteng berbentuk huruf ‘dal’ dalam aksara Arab ini, disusun dari batu kapur dan pasir. Benteng ini dilengkapi dua belas pintu masuk dan enam belas kubu pertahanan. Banyaknya meriam yang ditempatkan di tiap sisi benteng, menunjukkan masa Kesultanan Buton tidaklah mudah. Ada musuh, ada tamu asing, dan juga ada kerajaan tetangga, yang setiap saat datang sebagai lawan. Di dalam benteng terdapat antara lain batu tempat pijakan kaki kanan raja-raja Buton saat mengucapkan sumpah jabatan, Masjid Agung yang dibangun tahun 1712.
Setelah dua sampai tiga abad berbentuk kerajaan, Buton menjadi kesultanan (pemerintahan Islam) di zaman pemerintahan Sultan Kaimuddin (1542-1568). Sultan ini telah menciptakan filosofi masyarakat Buton dalam kehidupan bernegara yang salah satu butirnya berbunyi, Bolimo karo somanamo lipu (setiap individu harus mengalah demi kepentingan nasional).
Dalam komplek keraton, kediaman sultan tampak jauh lebih sederhana dibanding dengan istana raja-raja di tanah lain. Rumah panggung yang pernah didiami sejumlah sultan dari era yang berbeda, masih tersisa hingga kini. Rumah-rumah itu disebut kamali atau malige. Didalamnya, berbagai benda bersejarah juga masih disimpan, seperti bendera kerajaan yang pernah berkibar megah ratusan tahun lalu. Kesederhanaan ini seperti cermin dari iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan Buton, jauh sebelum Indonesia lahir. Meski ada tiga golongan yang berbeda tugas, Sultan Buton tidak selalu diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan tergantung pada rapat anggota dewan legislatif yang berada di tangan golongan Walaka. Beberapa sultan konon dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan pelanggaran.
Nuansa Islami amat lekat dengan Kesultanan Buton. Di dalam setiap pengangkatan sultan baru, ada sejumlah ritual yang telah menjadi tradisi. Ada sebuah batu berbentuk tonggak tempat menyimpan air, yang akan dipakai mandi sang calon sultan, sebelum diambil sumpahnya di Masjid Agung dalam kompleks keraton. Sehabis diambil sumpahnya, sang sultan baru dibawa ke batu pengangkatan. Diatas batu yang menyerupai alat kelamin perempuan ini, sang sultan di upacarai seolah-olah baru terlahir kembali. Bentuk batu ini mengingatkan pada lingga yoni, dalam konsep ajaran Hindu.
Masjid Agung keraton. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng ini, didirikan pada awal abad delapan belas, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Meski menjadi bagian dari kompleks keraton dalam Kesultanan Buton, wujud bangunan ini tetap terlihat sederhana. Namun sebaliknya, setiap komponen bangunan masjid ini penuh dengan simbol yang kaya akan makna.

Nama-Nama Kesultana Buton

1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).

Selangkah Lagi Provinsi Buton Raya Berdiri

Bau Bau, Pelita
Dalam rangka percepatan pembentukan Provinsi Buton Raya, bertempat di Auditorium Walikota Bau Bau Palagimata diselenggarakan Pertemuan Akbar Pembentukan Provinsi Buton Raya yang dihadiri sejumlah tokoh penggagas berdirinya Provinsi tersebut yaitu Walikota Bau Bau Drs Amirul Tamim, Bupati Buton Sjafei Kahar, Ketua DPR Kab. Buton, dan Ketua DPR Kota Bau Bau Maasra Manarfa.
Dalam pertemuan tersebut juga dihadiri beberapa tokoh penting yang nantinya akan turut bergabung dalam pembentukan provinsi Buton Raya yaitu Bupati Wakatobi, Ir Hugua, Sekda Buton Utara La Ode Hasirun, Assisten I Sekab Muna La Muda Rongga, Karo Pemerintahan SetProv Sultra (mewakili Gubernur Sultra).
Pertemuan ini juga sendiri dimaksudkan untuk mendengarkan langsung komitmen dari beberapa Anggota legislatif di Jakarta yang nantinya turut memperjuangkan berdirinya Provinsi Buton Raya, mereka adalah Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida, Anggota Komisi IX DPR RI, Djeni Hasmar beserta mereka juga turut hadir Tim Konsultan DPOD Depdagri Ahmad Saur Panjaitan.
Masyarakat yang hadir pada kesempatan tersebut mendengarkan pemaparan dari tokoh-tokoh penting tersebut, dengan sangat antusias mereka menyimak baik bahwa tidak lama lagi Provinsi Buton raya sudah siap berdiri hal ini di paparkan melalui tontonan dokumenter seputar kawasan buton raya, yang juga di barengi dengan penjelasan dari ke semua tokoh tersebut.
Dalam penjelasannya Walikota Bau Bau Amirul Tamim mengatakan Bau Bau mempunyai sejarah penjang yang merupakan bagian dari sejarah nusantara, sejak jaman kesultanan Buton hingga kini Bau Bau menjadi ibukota, dengan potensinya yang melimpah ruah di kawasan ini.
Maka tidak ada alasan bagi tidak berdirinya Provinsi Buton Raya dengan Bau Bau sebagai ibukota, Bau Bau mempunyai sarana dan prasarana yang siap menyambut Provinsi Buton Raya, jadi yang perlu dilakukan adalah fokus pada tujuan dibarengi dengan kebersamaan maka usaha ini akan terbentuk.
Selanjutnya Bupati Buton Sjafei Kahar manyambung bahwa seluruh komponen masyarakat memperlihatkan apresiasi positif dan dukungangan yang besar terhadap pembentukan Provinsi Buton Raya bahkan Gubernur Sultra sendiri lah yang mendukung terbentuknya Provinsi Buton Raya.
Sekretaris Kabupaten Muna yang mewakili Pemerintah Kabupaten Muna mangatakan bahwa sebenarnya masyarakat Muna juga siap bergabung denagan Provinsi Buton Raya namun untuk itu perlu ada pembahasan yang lebih lanjut demikian ia mewakili suara masyarakat Muna. Sedangkan menurut Bupati Wakatobi Hugua sebenarnya hal ini bukanlah membentuk Provinsi baru melainkan mengembalikan provinsi yang telah lama ada, maka ketika Provinsi Buton Raya terbentuk maka Wakatobi adalah surganya, demikian ia mewakili masyarakat Wakatobi.
La Ode Ida yang merupakan wakil dari DPD RI mengatakan bahwa pembentukan Provinsi Buton Raya sangat istimewa karena rakyat tidak perlu bersusah payah menyampaikan aspirasi melainkan para pemimipin sangat aspiratif dalam hal ini, jadi sangat jelas bahwa Provinsi Buton Raya tidak lama lagi dapat terwujud.
Djeni Hasmar sebagai anggota DPR RI mengatakan bahwa Ali Mazi sebagai mantan Gubernur Sultra memberi support bagi pembentukan Provinsi Buton Raya, yang akan di barengi dengan dukungan dari anggota DPD Sultra.
Terakhir pertemuan ini mendengarkan langsung pemaparan dari Tim Konsultan DPOD Depdagri Ahmad Saur Panjaitan yang menerangkan tentang berbagai syarat, indikator, penilaian dan skorsing dan lainnya yang di butuhkan untuk membentuk suatu Provinsi.
Maka dalam hal ini Provinsi Buton Raya sudah memenuhi semua unsur tersebut, jadi tidaka ada alasan lagi bagi tidak terbentuknya Provinsi Buton Raya. Mengakhiri pertemuan Akbar tersebut diadakan jamuan makan siang dengan para wartawan dari berbagai media yang ada di kota Bau Bau.(djeri)

Provinsi Buton Raya Disahkan

Rabu (6/8) kemarin mungkin akan menjadi tonggak sejarah bagi eksistensi Buton Raya. Perjalanan panjang penuh liku guna mewujudkan lahirnya provinsi baru akhirnya mendapat legitimasi setelah DPRD Provinsi menyetujui penetapan Raperda tentang persetujuan pembentukan Provinsi Buton Raya.
Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara dalam sambutannya mengatakan penetapan Buton Raya memiliki nilai historis tersendiri, apalagi selama 44 tahun berdiri, kini telah lahir wilayah otonom baru. Dikatakan Provinsi Buton Raya merupakan strategi untuk mempercepat akselerasi dalam mengejar ketertinggalan pembangunan. "Pemekaran Buton Raya bukan berarti pemisahan kultur dan budaya," tuturnya.
Pasangan Saleh Lasata ini punya sedikit catatan penting perihal Provinsi Buton Raya, agar dalam perjalanannya tidak terlalu mempersoalkan siapa yang bakal menjadi pelaksana Gubernur." Tidak usah berpolemik yang kemudian timbul riak-riak penolakan," sambung Nur Alam, perihal wacana pelaksana Gubernur.
Berdasarkan Undang-Undang kata Nur Alam maka Gubernur induk memiliki kapasitas untuk menentukan dan mengusulkan pejabat pelaksana Gubernur ke Mendagri, namun dalam masalah ini lanjut dia dirinya akan bersikap independen dan tidak terpengaruh suara-suara pembisik.
Rekomendasi DPRD Sultra mendapat apresiasi dari Wali Kota Baubau, Amirul Tamim. Kader PPP ini menandaskan sejak awal enam kabupaten/kota memang telah menunjukan kesiapan akan pembentukan Provinsi Buton Raya, baik dari penetapan ibukota, infrastruktur, dan Sumber daya manusia.
Rasa optimis jika Provinsi Buton Raya dapat disahkan pada tahun 2010 disampaikan Hj Waode Maasra Manaarfa, Ketua DPRD Baubau. Dikatakan sekitar 50-an orang anggota komisi II DPR RI dari semua fraksi telah memberi dukungan akan lahirnya provinsi baru di jazirah Sulawesi. " Sesuai tatib hak inisiatif DPR hanya disampaikan 13 anggota. Insya Allah, sesudah pemilihan presiden-wakil presiden, Buton Raya mendapat persetujuan," timpalnya, sembari menambahkan bila persoalan administrasi sudah tidak ada hal yang mengganjal.
Sebelumnya, lima fraksi DPRD provinsi yakni Fraksi Partai Golkar, PPP, Kebersamaan, Amanat Kemerdekaan, dan Fraksi PKS menyampaikan pendapat bersama yang disampaikan Ryha Madi. Salah satu anggota Pansus Buton Raya ini menandaskan pemekaran Provinsi Sultra dengan membentuk daerah otonom Provinsi Buton Raya dapat dilakukan sesuai dengan UU no 32 tahun 2004 tentang pemilihan daerah. Dan syarat-syarat tehnis yang mencakup faktor ekonomi, sosial, politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. " Ditinjau dari aspek fisik wilayah dan dukungan jumlah kabupaten/kota, lokasi ibukota pada daerah-daerah bakal dimekarkan sesuai UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah," papar Ryha Madi, yang juga anggota komisi B ini.
Sementara itu, usai penyampaian pendapat bersama, Kadir Ole, Wakil Ketua DPRD yang juga selaku pimpinan sidang langsung mengesahkan Raperda dalam suatu surat keputusan bernomor 06 tahun 2008 tentang persetujuan pembentukan Provinsi Buton Raya. Dalam rekomendasi ini disetujui dengan cakupan enam wilayah/kota yakni, Kabupaten Buton, Wakatobi, Buton Utara, Kota Baubau, calon kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Tengah, dengan calon ibukota berkedudukan di Kota Baubau.
Dukungan pemekaran Buton Raya juga disampaikan La Ode Ida Wakil Ketua DPD RI dan La Ode Djeni Hasmar Anggota DPR RI. Keduanya mengaku siap mempersiapkan pemekaran Buton Raya di pusat. "Sejak awal kami mendukung aspirasi warga kepulauan maupun daratan yang inginkan pemekaran Buton Raya. Apalagi Raperda-nya sudah ditetapkan gubernur bersama DPRD," ujar La Ode Ida, salah satu penggagas Buton Raya.
Hal senada disampaikan Djeni. Sebagai anggota DPR RI pihaknya akan membantu mendorong percepatan Provinsi Buton Raya. Raperda yang dihasilkan adalah persyaratan administrasi untuk dilanjutkan ke Depdagri dan DPR RI. Soal cakupan wilayah yang juga disyaratkan harus lima kabupaten dalam proses ke depannya. "Saya dan Rustam Tamburaka akan menyampaikan dalam paripurna. Pleno berikutnya tinggal tanggapan fraksi fraksi soal Buton Tengah dan Buton Selatan dan Buton Raya tentunya setelah asas penetapan legislatif dewan. Saat ini Buton Raya tinggal menunggu hasil kegiatan teknis sehingga upaya ke depan adalah menggenjot Buton Tengah dan Buton Selatan untuk memenuhi cakupan wilayah Buton Raya," terangnya.
Ditambahkan La Atjeh Amin, anggota DPRD Sultra. Katanya, soal nama Buton Raya sifatnya sudah paten, termasuk ibu kota Buton Raya yang terletak di Baubau. Tinggal komitmen semua pihak terkait untuk mengawal pemekaran cepat disetujui pusat.(m2/emi/ong)

Koalisi Parpol Persiapkan Hadapi Pilkada

PASARWAJO- Meski pemilihan kepala daerah (Pilkada) Buton setahun lebih lagi, namun koalisi Parpol Buton Bersatu sudah menggalang kekuatan. Parpol tersebut diantaranya PBR, PPDI, Barnas, PKNU, Pakar Pangan, dan PMB. Dari gabungan Parpol itu diperdiksi telah mencapai 15,3 persen.

Menurut Koordinator Koalisi Parpol Buton Bersatu, H Zariun SH Parpol non set tersebut telah menggelar deklarasi. Hasilnya lahir kesepakatan yang berbentuk pernyataan sikap ditandatangani 11 partai. Tujuannya lanjut Zariun, untuk persiapan penjaringan asprisi pada Pilkada tahun 2011 mendatang. Karena sesuai jadwal masa penjaringan tinggal sembilan bulan.

“Walaupun secara resmi dilakukan kemarin (Sabtu, 17/10 ) namun sebelumnya sudah ada pembicaraan antara satu sama lain. Jadi kalau selama ini ada yang beranggapan koalisi Patai Buton Bersatu itu retak, itu tidak benar. Malah sekarang jadi Solid menyatakan sikap menjadi satu kekuatan,” ungakpany.

Adapun figur Balon, jelasnya, akan lahir dari kualisi tersebut. Tetapi koalisi tetap membuka diri untuk calon dari luar selama memenuhi syarat. Adapun syaratnya akan ditentukan kemudian. Salah satu syarat dikenal masyarakat dan mengenal masyarakatnya serta punya kepedulian. Dan lebih utama bisa membangun daerah.

“Tetap kita bangun komunikasi dengan partai lain, baik yang non shet maupun shet. Masih membuka diri kepada partai-partai lain untuk masuk pada kualisi bersatu,” paparnya. Namun untuk pesiapan Pilkada pihakan mulai merancang, karena pengalaman Pilkada yang lalu para Calon sudah harus dipersiapkan.

Dalam deklarasi itu juga, tambahnya telah terbentuk dua poko yang ditempatkan di Baubau di Pasarwajo. Partai yang menghadiri diklat tersebut antara lain, Barnas diwakili La Siara, PBR (Muhammad Zariun), PPDI dan, PMB (Judiman). (din/mus)

Sejarah buton raya

Belakangan ini, setiap saya mengakses facebook, saya selalu mengikuti perkembangan diskusi di group-group yang berkaitan dengan Buton, terutama di group komunitas Buton Raya. Tema pembicaraan tentang buton raya memang cukup menarik dan harus menjadi pembicaraan yang masif sehingga dapat menjadi konsumsi publik. saya termasuk orang yang menaruh harap dengan terbentuknya Buton Raya, namun tidak berada pada posisi fanatik bahwa propinsi baru harus terbentuk sebagai wadah yang mempersatukan kekuatan kembali Buton dimasa lalu.

Dari beberapa group di fecabook terkait dengan Buton yang saya ikuti, saya mengamati ada banyak asumsi maupun argumen yang berpangkal pada kejayaan serta nama besar Kerajaan/kesultanan Buton di masa lalu yang berusaha ditarik ke masa kini (walaupun tidak menjadi wacana dominan), diramu sedemikian rupa agar dapat menjadi ingatan kolektif yang bisa merekatkan masyarakat kita. strategi demikian cukup efektif untuk membangun kekuatan bersama, namun saya masih sedikit meragukan kalau itu menjadi kebutuhan dasar masyarakat kita saat ini?

Saya agak sependapat dengan pendapat Prof Susanto zuhdi yang menganggap bahwa Buton adalah sejarah yang terabaikan dalam peta sejarah dan kebudayaan Indonesia. ditambah memang sejarah selalu dilihat dari tafsir budaya-budaya dominan, khususnya di bagian timur indonesia, sejarah sangat dipengaruhi oleh tafsir dari Gowa dan Ternate. beberapa fakta tersebut sangat mengusik saya sebagai orang buton. mengapa Buton menjadi sejarah yang terkalahkan'? beberapa peristiwa silam seperti begitu mudahnya Kesultanan Buton bergabung dengan NKRI, kisah pilu Bupati Kasim dan cap PKI atas daerah kita yang berdampak pada hilangnya satu generasi yang coba dibangun fondasinya oleh beliau, tidak terpilihnya Bau-Bau sebagai ibukota Sultra yang sebelumnya menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara, dan konon saat ini ada rumor yang berkembang bahwa ada sejumlah skenario yang berusaha menyingkirkan kekuatan Buton dalam ranah politik di Sultra oleh sejumlah kelompok (ini masih asumsi).

Masih menyimpan segudang tanya bagi saya, kehadiran propinsi Buton Raya nantinya dapat membuat sejarah Buton tidak terpinggirkan lagi? Saya tertarik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Bung Alfin dalam salah satu topic diskusi pada group komunitas Buton Raya tentang pra dan pasca pemekaran buton raya, katanya apakah saat ini kita kalah dalam percaturan permainan di Sultra? Juga tertarik oleh jawaban bung Yudi yang menganggap bahwa pembentukan Buton Raya bukan karena atas dasar kalahnya kita bersaing dengan daerah lain, namun karena alasan sejarah dan budaya yang sudah terbangun sejak masa silam.

Dari sejumlah pendekatan untuk mengkaji fenomena pemekaran wilayah, pendekatan structural bisa dijadikan perspektif untuk meneropong dan memahami isu pemekaran. Pendekatan structural itu umumnya ada dua yaitu; adanya sumber daya yang cukup seksi untuk diperebutkan, dan adanya Strong men yang mempunyai kekuatan/relasi cukup baik dipusat namun sudah tidak punya ruang lagi untuk bermain disana dan mencari ruang baru di daerah agar tetap eksis dalam panggung politik. Salah satu contoh pemekaran daerah dengan analisis structural ini bisa dijumpai pada kasus pemekaran propinsi Sulbar dari Sulsel dengan hadirnya kekuatan Adwar adnan saleh sebagai strong men yang punya relasi kuat di pusat dan akhirnya menjadi kepala daerah di propinsi baru yang dimekarkan tersebut.

Nah bagimana dengan kasus Buton raya? Adakah sumber daya yang cukup seksi untuk diperebutkan sebagai lahan perebutan bisnis? Adakah sosok strong men itu?

Kasus Buton Raya mungkin agak berbeda halnya dengan yang terjadi di Sulbar, mengingat bahwa wacana pemekaran buton raya saat ini lebih dominan dimainkan oleh elit politik local yang dimotori oleh kepala daerah yang berusaha memaksimalkan jejaring social dan politik mereka yang ada di pusat untuk mendorong pembentukan propinsi baru.

Dalam pengamatan saya, sampai saat ini praktis belum muncul seorang figure yang mempunyai relasi kuat di Jakarta dan ingin mencari ruang baru di daerah. Beberapa figure seperti Masihu Kamaludin atau Jeni Hasmar tidak tampil pada garda terdepan dalam perjuangan pemekaran. Strong men tersebut lebih diperankan oleh elit politik local (Bupati/walikota) yang sementara ini menjabat.

Kendali pemekaran Buton Raya saat ini berada di pusat. Dalam kondisi seperti itu membuka peluang yang sangat terbuka bagi mereka yang mempunyai relasi dan sejumlah capital terkait lobi dan negosiasi terwujudnya sebuah pemekaran. Hal lain yang menurut saya agak dilupakan dalam diskusi-diskusi tentang pemekaran adalah kekuatan militer terkait masalah teritorial. Salah satu masalah yang sering muncul terkait dengan pemekaran adalah masalah penentuan ibukota. Persoalan penentuan ibukota terkadang dengan tidak sengaja akan menarik kekuatan militer masuk kedalam, apalagi persoalan teritori memang bagian dari wilayah yang diurusinya. Namun lebih jauh, masalah teritori bukan hanya sebatas penentuan ibukota saja, sejalan dengan itu terkait juga dengan pengaturan dan pembagian lahan bisnis baru bagi militer. Apalagi mengingat militer mempunyai kekuatan yang sangat kuat dan cukup solid sampai ke tingkat daerah dan masih belum bisa melepaskan diri dari dunia bisnis yang menjadi sumber lain untuk pendapatan mereka. Jika elit politik lokal kecolongan, militer bisa lebih jauh masuk dan bahkan mengambil alih proyek pemekaran yang diperjuangkan oleh mereka.

Untuk kasus Buton Raya, bagi saya yang terpenting adalah diadakannya rekonsiliasi antara pulau yang tergabung didalamnya, sebab Buton Raya merupakan daerah dengan banyak pulau yang rentan dengan potensi konflik, apalagi jika merunut ke sejarah, peradaban daerah ini dibangun tidak hanya oleh komunitas local disaat itu, namun sangat dipengaruhi juga oleh sejumlah kekuatan kelompok migran yang merantau baik dengan sengaja maupun tidak sengaja berlayar dan akhirnya menetap di jazirah tenggara Indonesia. Salah satu kutukan untuk daerah yang banyak mempunyai sumber daya adalah konflik. Ini bisa dijumpai pada beberapa daerah di Indonesia misalnya Irian atau Maluku(*)

Kekuatan “Batata” untuk Provinsi Buton Raya

Provinsi Buton Raya didorong untuk mengembalikan peradaban Kesultanan Buton. Syarat administrasi pembentukannya sudah selesai, kini giliran masyarakat menggerakkan kekuatan doa untuk mewujudkan daerah otonom baru tersebut.



Laporan: M Djufri Rachim, Baubau



Sabtu (15/11) siang sinar matahari di Desa Burangasi Rumbia, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton cukup panas. Suhu udara sekitar 32 derajat celcius. Namun tidak menyurutkan semangat ratusan masyarakat desa setempat berbondong-bondong menuju lapangan terbuka guna mengikuti acara Batata Burangasi yang dirangkai dengan acara zikir dan doa bersama menuju pembentukan Provinsi Buton Raya.

“Batata” merupakan tradisi masyarakat Buton untuk memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Khusus di daerah ini disebut “Batata Burangasi” dimana acara ritual dilakukan oleh tujuh orang “parabela” (orang tua adat) berpakaian khas kesultanan Buton. Bacaan-bacaan ritual disampaikan dalam bahasa lokal (Cia-cia).

Menurut pimpinan ritual, Parabela La Uo, “Batata” mempunyai tiga maksud, yakni: Pertama, mendoakan agar semua orang di muka bumi ini dapat berbuat baik, sportif dan jujur. Kedua, mengandung sumpah, sehingga bagi yang melanggar akan mendapatkan ganjaran, misalnya tertimpa musibah. Ketiga, mememohonkan agar semua manusia mendapatkan rejeki dan kedamaian hidup yang baik.

Selain tiga maksud tersebut, pada acara “Batata” hari itu secara spesifik memohonkan pula percepatan pembentukan Provinsi Buton Raya dan dua kabupaten penunjangnya, yakni Kabupaten Buton Selatan dan Buton Tengah. Selain “Batata”, untuk maksud yang sama, masyarakat juga melakukan zikir dan doa bersama.

Acara tersebut dihadiri tokoh masyarakat Buton Papua Barat, La Masikamba. Pada beberapa kali pertemuan pembentukan provinsi Buton Raya, La Masikamba senantiasa aktif. Sebelumnya, ia juga terlihat pada pertemuan akbar kepala daerah di wilayah Buton Raya yang berlangsung di Kantor Walikota Bau-Bau Palagimata, awal Mei lalu. Pertemuan tersebut dihadiri Walikota Baubau MZ. Amirul Tamim, Bupati Buton LM Sjafei Kahar, Bupati Wakatobi Hugua, dan Bupati Buton Utara (Butur) yang diwakili Sekretaris Daerah La Ode Hasirun. telah sepakat untuk membentuk sebuah provinsi yang dinamakan Buton Raya.

Menurut La Masikamba persyaratan administrasi pembentukan Provinsi Buton Raya telah terpenuhi, kini waktunya seluruh masyarakat menyeruhkan doa melalui masjid, musholah, surau, dan langgar. Doa massal dimulai dari Desa Burangasi Rumbia akan disusul tempat-tempat lain di seluruh wilayah Buton Raya (Kabupaten Buton, Wakatobi, Buton Utara, Kota Baubau) dan oleh masyarakat Buton yang ada di rantau.

Desa Burangasi dipilih sebagai tempat demo spiritual pertama untuk mewujudkan Provinsi Buton Raya karena masyarakat setempat meyakini daerah tersebut sebagai tempat pertama kali Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani menginjakkan kaki di tanah Buton untuk menyebarkan agama Islam. “Setelah 40 hari berada di Burangasi, Syeikh Abdul Wahid dipanggil oleh Sultan Buton. Di situlah dimulainya menyebaran agama Islam melalui kesultanan,” kata M Yasin Welson, salah seorang tokoh agama di Burangasi kepada Kendari Pos.

Menurut Yasin, Syeikh Abdul Wahid pertama kali mendarat di Rampea, pesisir Burangasi, kemudian tinggal di Bente (Benteng, Red) Duria dan melakukan salat di atas Batupuaro. Benteng dan Batupuaro tersebut hingga kini masih ada. Sedangkan sisa peninggalan Syeikh yang lain berupa ajaran “Kawalimboba” yakni ajaran agama Islam berupa penghayatan Alquran yang disebarkan secara lisan ---dari mulut ke mulut.

Seruan untuk memanjatkan doa untuk percepatan terbentuknya provinsi Buton Raya juga disampaikan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Yaudu Salam Ajo. “Kekuatan doa tidak bisa dikalahkan oleh kekuatan apa pun.” Karena itu, ia juga berharap agar istiqosah dapat dilakukan di daerah lain seperti Wakatobi, dan lain-lain, termasuk di perantauan orang-orang Buton.

Masyarakat Buton memang sejak lama banyak yang merantau. Hampir seluruh pelosok nusantara ada orang Buton, namun kebanyakan mereka berada di wilayah Timur Indonesia, seperti Maluku dan Irian. Mereka bekerja di sektor swasta, tentu ada pula yang PNS dan TNI/Polri. Ketika merantau mereka menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Masyarakat Buton perantau pun menyambut baik pembentukan Provinsi Buton Raya. Masyarakat Buton dan Muna di Sorong, Papua Barat, yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Sulawesi Tenggara belum lama ini mengadakan seminar nasional yang mengusung tema "Pemikiran Perantau Asal Buton dan Muna untuk Mewujudkan Provinsi Buton Raya.”

Ketua Panitia Pelaksana, Nasir La Apa, menjelaskan seminar nasional tersebut dilatarbelakangi adanya wacana dan aspirasi yang berkembang di masyarakat, tentang keinginan bagi pemekaran Provinsi Sultra menjadi dua provinsi yakni Provinsi Buton Raya dan provinsi induk itu sendiri.

Seminar tersebut bertujuan untuk mengumpulkan respon dan aspirasi masyarakat di tanah Papua dan Maluku terhadap pembentukan Provinsi Buton Raya, serta merumuskan hasil seminar dan rekomendasinya menjadi dokumen yang merangkum wujud aspirasi dan tanggapan masyarakat Buton dan Muna perantauan untuk kemudian diserahkan pada pihak yang berkompoten seperti, DPR RI, DPD-RI, DPRD Sultra dan DPRD kabupaten/kota, serta pemerintah pusat dan daerah.

Alhasil, semua pihak kini telah setuju soal pembentukan Provinsi Buton Raya. Puluhan anggota DPR dan DPD di Jakarta telah menyatakan dukungannya. "Yang mendukung pembentukan provinsi Buton Raya itu bukan hanya dari kami sebagai anggota DPR-RI maupun DPD-RI, tetapi ada beberapa anggota DPR-RI asal Sultra yang berada di provinsi lain seperti dari Maluku Utara, Ambon, dan Papua juga ikut mendukung," kata anggota DPR RI Laode Djeni Hasmar.

Sebetulnya, menurut Djeni Hasmar, keinginan masyarakat di kepulauan untuk membentuk satu provinsi baru sudah lama diwacanakan, yakni sejak Gubernur Sultra yang keenam, Drs H La Ode Kaimoeddin. Pada waktu itu, wacana pembentukan Provinsi Buton Raya ditangani oleh Tim Sembilan yang di dalamnya terdapat beberapa tokoh seperti Prof Dr La Ode Abdul Rauf, MSc (Muna), Drs H Husni Zakaria (Buton Utara) dan beberapa tokoh agama dan pemuda lainnya di kabupaten Bombana dan Wakatobi. Hanya saja, wacana pembentukan provinsi Buton Raya pada waktu itu tidak berjalan efektif karena persoalan jumlah kabupaten yang belum mencukupi persyaratan. Namun kini masalah itu hampir teratasi dengan penggagasan dua kabupaten baru, sebagai pemekaran kabupaten Buton.

Komponen pendukung di daerah pun demikian sepakat. DPRD Sultra melalui rapat paripurna tanggal 6 Agustus 2008 telah menyetujui pemekaran Buton Raya menjadi suatu daerah otonom baru, terpisah dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Kadir Ole dan dihadiri Gubernur Sultra Nur Alam telah membuat keputusan bersama yang dibacakan oleh anggota DPRD Sultra asal Wakatobi, Ryha Madi. Keputusan DPRD Nomor 06 tahun 2008 tersebut menjadikan cakupan enam kabupaten dan kota untuk Provinsi Buton Raya, yaitu: Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau, Wakatobi , Buton Utara , calon Kabupaten Tengah dan Calon Kabupaten Buton Selatan dan menetapkan pula Kota Bau-Bau sebagai calon tunggal ibu kota Provinsi Buton Raya.

Gubernur Sultra Nur Alam saat memberikan sambutan dalam rapat paripurna DPRD tersebut mengatakan wilayah Buton Raya yang terdiri dari kepulauan sangat layak untuk menjadi provinsi baru. Selain memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama potensi sumber daya kelautan, wilayah itu juga didukung sarana dan prasarana dasar yang cukup memadai. “Dilihat dari potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki, wilayah Buton Raya sangat layak menjadi provinsi baru. Selain untuk mengoptimalkan pemanfaatan berbagai potensi yang dimiliki, pemekaran itu juga untuk mendekatkan rentang kendali pelayanan pemerintahan kepada masyarakat. Karena itu, saya menyetujui pembentukan provinsi baru ini,” ujar Nur Alam.

Karena semua perangkat pemerintah telah mendukung pembentukan Provinsi Buton Raya maka masyarakatnya kini berjuang dalam bentuk doa. Mereka sangat berharap agar provinsi ini terbentuk dalam waktu cepat. Apalagi kontek pemekaran tersebut dianggap seiring dengan sejarah yang panjang dan menjadi bagian dari sejarah nusantara dengan dijadikannya Baubau sebagai pusat kesultanan Buton di masa lalu.

Ketua DPRD Kabupaten Buton, Umar Samiun, dalam acara Batata Burangasi yang dirangkai dengan acara zikir dan doa bersama itu mengurai panjang lebar sejarah kesultanan Buton, mulai dari awal terbentuknya hingga dipolitisirnya pemindahan ibukota provinsi Sultra, dari Baubau ke Kendari, ketika pertama pisah dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara. “Karena itu pembentukan Provinsi Buton Raya berarti mengembalikan peradaban/kejayaan Kesultanan Buton,” kata Umar.



Kesultanan Buton sebagai Sumber Inspirasi dan Referensi

Buton memiliki sejarah yang bisa memberikan historis akan sebuah wilayah geografis yang pernah terintegrasikan dalam bentuk kesultanan. Kini para elite politik dan tokoh masyarakat setempat mendorong kembalinya kejayaan peradaban itu dalam wujud provinsi Buton Raya.

Bergulirnya keinginan membentuk sebuah daerah otonom (belakangan disepakati bernama Provinsi Buton Raya) sudah sejak lama, namun baru muncul dipermukaan bersamaan dengan euforia reformasi pasca lengsernya presiden Soeharto (1998).

Menurut anggota DPR RI Laode Djeni Hasmar keinginan masyarakat di kepulauan untuk membentuk satu provinsi baru diwacanakan sejak Gubernur Sultra yang keenam, Drs H La Ode Kaimoeddin, namun pembentukan provinsi Buton Raya pada waktu itu tidak berjalan efektif karena persoalan jumlah kabupaten yang belum mencukupi persyaratan.

Aturan pemekaran sebuah provinsi baru mensyaratkan minimal terdapat lima kabupaten/kota yang ada di dalamnya. Kabupaten Buton sendiri sudah memecah diri membentuk dua kabupaten baru, yakni Wakatobi dan Bombana, shingga bila dihitung-hitung sudah mencukupi untuk membentuk provinsi di wilayah kepulauan Sultra, yakni Kabupaten Buton, Wakatobi, Bombana, Buton Utara, Muna, dan Kota Baubau.

Sebelum pemekaran, Buton merupakan kabupaten yang wilayahnya meliputi sebagian Pulau Buton, sebagian Pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi), Pulau Kabaena, dan sebagian jazirah Sulawesi Tenggara. Pada saat itu ibukota kabupaten berada di Baubau yang berstatus Kota Administratif (Kotif). Pada tahun 2001, Baubau mekar dan meningkat statusnya menjadi kota. Pada tahun 2003 Wakatobi dan Bombana berdiri sebagai kabupaten sendiri. Meskipun Buton mengalami penyempitan wilayah, sejak tahun 2003 terjadi pemekaran kecamatan secara drastis sehingga saat ini kembali memiliki 21 kecamatan, sebagaimana jumlah kecamatan sebelum adanya pemekaran.

Belakangan, Kabupaten Bombana diketahui enggan bergabung ke Buton Raya. Demikian pula dengan Kabupaten Muna. Pada pertemuan seluruh kepala daerah wilayah kepulauan di Baubau pada bulan Mei 2008, Kabupaten Muna mengirimkan utusannya, yakni asisten satu, La Muda Ronga, namun menyatakan masih ragu-ragu untuk bergabung dengan Provinsi Buton Raya karena harus ada pembicaraan terlebih dahulu diantara kepala daerah.

Sedangkan Kabupaten Bombana melalui DPRD-nya memutuskan untuk tidak bergabung dengan Provinsi Buton Raya. Namun demikian, melalui Sekda Bombana Idrus Effendi Kube dalam acara “Dialog Strategis Pembangunan Daerah Melalui Pembentukan Daaerah Otonom Baru,” di Baubau, 14 September 2008 mengatakan pihaknya hanya bisa memberikan dukungan moral. Hal itu, katanya, bisa dilihat dengan hadirnya 10 anggota DPRD Bombana di acara dialog itu. Effendi sama sekali tidak menyinggung apakah kehadirannya bersama anggota DPRD itu, akan menyatakan bergabung dengan Buton Raya, walaupun dia mengakui bahwa dampak positif setelah daerahnya mekar dari Buton empat tahun silam.

Niat elite politik dan tokoh masyarakat di wilayah Buton Raya tidak urung dengan sikap dua kabupaten tersebut (Bombana dan Muna). Tidak ada lagi yang bisa menghalangi Buton Raya menjadi sebuah provinsi dan Kota Baubau sebagai ibukotanya. "Selaku Walikota Baubau saya mohon doa restu semua elemen masyarakat demi terwujudnya Provinsi Buton Raya," kata Wali Kota Baubau, MZ Amirul Tamim pada pertemuan kepala daerah wilayah kepulauan.

Hal senada diungkapkan Bupati Buton LM Sjafei Kahar bahwa sekarang ini sudah saatnya Provinsi Buton Raya mekar sebab menyangkut pendekatan pelayanan pemerintahan dan konsentrasi pembangunan. Pasalnya, selama ini dari segi pembangunan antara daratan dan kepulauan terjadi perbedaan. Dicontohkan mengenai persoalan jalan hotmix antara Baubau dan Pasarwajo selama Sultra berdiri tidak pernah dihotmix. Bila dibandingkan dengan daratan semua sudah diaspal hotmix. Demikian pula dengan kondisi jalan antara Buton dan Muna.

Pemerintah Kabupaten Buton pun segera mendorong pemekaran dua kabupaten baru yang sesungguhnya sudah lama direncanakan, yakni Kabupaten Buton Tengah dan Buton Selatan. Menurut anggota DPRD Sultra, Yaudu Salam Ajo, pemekaran Kabupaten Buton Tengah dan Selatan bukan tanpa alasan. Pemekaran ini sudah lama menjadi keinginan masyarakat setempat. "Aspirasi masyarakat, khususnya di dua daerah yang akan dimekarkan telah cukup lama dinantikan. Sudah sejak tiga tahun lalu,” katanya.

Potensi sumber daya alam di dua daerah tersebut cukup besar, utamanya pada sektor perikanan dan pertambangan. Sehingga jika dikembangkan, maka dua sektor sumber daya alam ini dapat memberikan kontribusi riil bagi kemajuan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Buton Tengah dan Selatan.

Dengan demikian masalah jumlah kabupaten/kota pendukung provinsi Buton Raya hampir teratasi. Kabupaten/kota yang sudah bulat untuk bergabung adalah Buton, Wakatobi, Baubau, Buton Utara, Buton Tengah, dan Buton Selatan. Menurut Ketua DPRD Buton, Umar Samiun, pemekaran dua kabupaten yang disebutkan terakhir tersebut segera terealisasi, yang kemudian disusul pembentukan Provinsi Buton Raya.

Umar Samiun dalam acara Batata Burangasi yang dirangkai dengan acara zikir dan doa bersama di Desa Burangasi Rumbia, Kecamatan Lapandewa, Sabtu (15/11), Buton dipolitisir ketika terjadi pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara yang pisah dari Provinsi Sulselra. Ibukota Provinsi Sultra yang seharusnya terletak di Kota Baubau, justru dipindahkan ke Kendari (ibukota sekarang).

Menurut Umar, hal itu dilakukan untuk menghambat kemajuan Buton, sebab jika ibukota provinsi di Baubau maka daerah ini akan menjadi pusat pertumbuhan kawasan Timur Indonesia, mengingat transportasi utama saat itu adalah melalui hubungan laut. Semua kapal yang melayari kawasan Timur dan Barat Indonesia akan melalui pelabuhan Baubau yang sudah lebih dahulu maju. Bahkan, kompeni (Belanda) pun menjadikan pelabuhan Baubau sebagai tempat strategi dalam berdagang rempa-rempa.

Baubau selain sebagai pusat perdagangan juga merupakan pusat sejarah dan kebudayaan. Kota Baubau merupakan pusat dari Kesultanan Buton yang mewakili wilayah kekuasaan yang meliputi Pulau Buton, Pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi), dan sebagian daratan jazirah Sulawesi (Bombana).

Karena itu, menurut peniliti senior LIPI, Dr Riwanto Tirtosudarmo, dalam buku Menyibak Kabut di Keraton Buton (2008), bagi para pemimpin dan tokoh masyarakat Buton mengembalikan kejayaan dan kewilayahan Kesultanan Buton merupakan impian lama yang merupakan ingatan kolektif yang sangat kuat dan dipelihara hingga saat ini.

Menurutnya, bekas wilayah Kesultanan Buton di masa lalu menjadi inspirasi dan referensi bagi para tokoh dan pemimpin masyarakat Buton untuk merealisasikan pembentukan Provinsi Buton Raya.

Rabu, 20 April 2011

Angka Tujuh Membuktikan Mukjizat Terbesar Nabi Muhammad SAW

Data angka membuktikan bahwa Quran tidak berubah dan diselewengkan. Beberapa orang percaya bahwa Quran, yang ada di tangan kita hari ini tidak lengkap dan mengandung sejumlah besar ayat-ayat yang disembunyikan … Dapatkah bahasa angka untuk membuktikan keyakinan yang keliru ini ?….
Beberapa menyatakan bahwa Quran Utsmani, semoga Allah meridhainya bahwa Ia telah membakar banyak ayat Al Quran ketika dia mengumpulkan Al Qur’an. Mereka mengatakan; Utsman telah membakar segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ide-ide dan pendapatnya … Dan oleh karena itu Al Quran kehilangan banyak Firman Tuhan, Apakah pandangan ini benar? Bisakah angka-angka membuktikan bahwa Qur’an sesuai keasliannya dan lengkap seperti diungkapkan oleh Allah, tanpa penambahan dan pengurangan?
Pada artikel ini kita tidak akan menggunakan retorika, tapi kita akan menggunakan bahasa angka-angka yang akan menjawab bagi siapapun yang menolak atau meragukannya. Anggapan bahwa Al Qur’an telah diselewengkan dan dikurangi berarti akan merubah jumlah angka-angka yang akan dibuktikan.
Jika kami menemukan bahwa jumlah ayat, surat dan kata-kata sesuai dengan perhitungan yang detail, hal itu menunjukkan bahwa Quran adalah lengkap, seperti yang dijelaskan oleh Allah. Allah berfirman: (Tidak terdapat kesalahan di depan maupun dibelakang. Ia diturunkan oleh Dzat yang maha perkasa lagi bijaksana (Fushshilat: 42). Ini adalah bukti firman Allah: “Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan kamilah yang menjaganya” (Al Hadid: 9)
Apa yang cocok untuk urutan angka keajaiban ini ???????
Tujuh (7) adalah angka yang memiliki nilai tersendiri dalam Al Qur’an. Ia disebut sebagai As Sab’u Al Masani (tujuh ayat yang senantiasa di ulang-ulang sepanjang zaman) dialah al Fatihah. Thowaf di Kabah juga dilaksanakan tujuh kali putaran. Sujud, juga harus bersentuhan tujuh anggota badan, setiap atom dari atom-atom alam semesta terdiri dari tujuh lapisan. Tanah dimana kita hidup terdiri dari tujuh lapisan, langit diatas kita juga terdiri dari tujuh tingkat, bilangan hari juga ada tujuh hari, dan masih banyak lagi misteri tentang bilangan tujuh.
Dalam sebuah ayat: (dan kemudian berbalik ke langit dan membuat mereka tujuh langit, dan Dia maha mengetahui atas segala sesuatu [Al-Baqarah: 29].
Saudara saya ajak untuk merenungkan angka tujuh. Angka ini punya kaitan dengan keajaiban Al Qur’an. Dan menunjukkan Al Qur’an adalah mukjizat terbesar. Ia tidak di tambah dan tidak di kurangi, baik ayat maupun hurufnya.
Kita semua tahu bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an adalah Surah 114, dan jumlah ayat-ayat Al-Qur’an adalah ayat 6.236. Dan tentu saja bergantung pada Al-Quran yang ada di tangan kami, sebuah Quran Madinah. Turunnya Al Quran adalah 23 tahun.